BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Biologi lingkungan atau yang biasa dikenal dengan ekologi adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang mempunyai hubungan erat dengan lingkungan. Ekologi berasal dari kata oikos yang berarti rumah tangga dan logos yang mempunyai arti ilmu pengetahuan. Jadi, ekologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan keadaan lingkungannya yang bersifat dinamis. Hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya sangat terbatas terhadap lingkungan yang bersangkutan, hubungan inilah yang disebut dengan keterbatasan ekologi. Dalam keterbatasan ekologi terjadi degradasi ekosistem yang disebabkan oleh dua hal yaitu peristiwa alami dan kegiatan manusia. Secara alami merupakan peristiwa yang terjadi bukan karena disebabkan oleh perilaku manusia. Sedangkan yang disebabkan oleh kegitan manusia yaitu degradasi ekosistem yang dapat terjadi diberbagai bidang meliputi bidang pertanian, pertambangan, kehutanan, konstruksi jalan raya, pengembangan sumber daya air dan adanya urbanisasi.
Indonesia mempunyai hutan tropis dunia sebesar 10 persen. Sekitar 12% keadaan hutan di Indonesia yang merupakan bagian dari jumlah binatang yang tergolong jenis mamalia, 16% persen merupakan bagian dari spesies amphibi dan binatang sejenis reptil dan 25% dari bagian spesies sejenis burung dan sekitar 1.519 merupakan bagian dari spesies burung. Sisanya merupakan endemik yang hanya dapat ditemui didaerah tersebut.
Penyusutan luas hutan alam yang merupakan asli Indonesia mengalami kecepatan menurunan yang cukup memprihatinkan. Menurut World Resource Institute (1997), hingga saat ini hutan asli Indonesia. Selama periode 1985-1997 kerusakan hutan mencapai 1,6 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 bertambah menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Berdasarkan pada hasil penelitian citra landsat pada tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan mengalami kerusakan yang cukup serius. Diantaranya, hutan seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan [Badan Planologi Dephut,2003]. Menurut data yang diperoleh dari Bakornas Penanggulangan Bencana pada tahun 2003, bencana yang terjadi selama tahun 1998 hingga pertengahan 2003 data yang didapat menunjukan telah terjadi 647 bencana dengan 2022 korban jiwa dan mengalami kerugian milyaran rupiah dengan 85% merupakan bencana banjir dan longsor.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat kami susun adalah sebagai berikut :
1.Bagaimana Penerapan Ekologi dalam Bidang Pertanian?
2.Bagaimana Penerapan Ekologi dalam Bidang Kehutanan?
3.Bagaimana Penerapan Ekologi dalam Bidang Tatakota?
1.3Tujuan
Dalam rumusan masalah di atas terdapat beberapa tujuan dan manfaat diantaranya:
1.Mengetahui Penerapan Ekologi dalam Bidang Pertanian.
2.Mengetahui Penerapan Ekologi dalam Bidang Kehutanan.
3.Mengetahui Penerapan Ekologi dalam Bidang Tatakota.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Ekologi dalam Bidang Pertanian
Pertanian organik yang semakin berkembang belakangan ini menunjukkan adanya kesadaran petani dan berbagai pihak yang bergelut dalam sektor pertanian akan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Revolusi hijau dengan input bahan kimia memberi bukti bahwa lingkungan pertanian menjadi hancur dan tidak lestari. Pertanian organik kemudian dipercaya menjadi salah satu solusi alternatifnya.
Pengembangan pertanian organik secara teknis harus disesuaikan dengan prinsip dasar lokalitas. Artinya pengembangan pertanian organik harus disesuaikan dengan daya adaptasi tumbuh tanaman/binatang terhadap kondisi lahan, pengetahuan lokal teknis perawatannya, sumber daya pendukung, manfaat sosial tanaman/ binatang bagi komunitas.
Pertanian organik memandang alam secara menyeluruh, komponennya saling bergantung dan menghidupi, dan manusia adalah bagian di dalamnya. Prinsip ekologi dalam pertanian organik didasarkan pada hubungan antara organisme dengan alam sekitarnya dan antarorganisme itu sendiri secara seimbang. Pola hubungan antara organisme dan alamnya dipandang sebagai satu – kesatuan yang tidak terpisahkan, sekaligus sebagai pedoman atau hukum dasar dalam pengelolaan alam, termasuk pertanian.
Dalam pelaksanaannya, sistem pertanian organik sangat memperhatikan kondisi lingkungan dengan mengembangkan metode budi daya dan pengolahan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sistem pertanian organik diterapkan berdasarkan atas interaksi tanah, tanaman, hewan, manusia, mikroorganisme, ekosistem, dan lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan dan keanekaragaman hayati. Sistem ini secara langsung diarahkan pada usaha meningkatkan proses daur ulang alami daripada usaha merusak ekosistem pertanian (agroekosistem).
Pertanian organik banyak memberikan kontribusi pada perlindungan lingkungan dan masa depan kehidupan manusia. Pertanian organik juga menjamin keberlanjutan bagi agroekosistem dan kehidupan petani sebagai pelaku pertanian. Sumber daya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga unsur hara, bimassa, dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran.
Pemanfaatan bahan-bahan alami lokal di sekitar lokasi pertanian seperti limbah produk pertanian sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik seperti kompos sangat efektif mereduksi penggunaan pupuk kimia sintetis yang jelas-jelas tidak ramah lingkungan. Demikian juga dengan pemanfaatan bahan alami seperti tanaman obat yang ada untuk dibuat racun hama akan mengurangi penggunaan bahan pencemar bahaya yang diakibatkan pestisida, fungisida, dan insektisida kimia.
Penggunaan mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan. Di samping itu, banyak mikroorganisme di alam yang memiliki kemampuan mereduksi dan mendegradasi bahan-bahan kimia berbahaya yang diakibatkan pencemaran dari bahan racun yang digunakan dalam aktivitas pertanian konvensional seperti racun serangga dan hama.
Dengan kemajuan teknologi, pertanian organik adalah pertanian ramah lingkungan yang murah dan berteknologi sederhana (tepat guna) dan dapat dijangkau semua petani di Indonesia. Serangga hama dan musuh alami merupakan bagian keanekaragaman hayati. Serangga hama memiliki kemampuan berbiak yang tinggi untuk mengimbangi tingkat kematian yang tinggi di alam. Keseimbangan alami antara serangga hama dan musuh alami sering dikacaukan penggunaan insektisida kimia yang hanya satu macam.
Pertanian organik bukan hanya baik bagi kesehatan, tetapi juga bagi lingkungan bumi. Beberapa ahli pertanian Amerika Serikat yakin pertanian organik merupakan cara baru mengurangi gas-gas rumah kaca yang menyumbang pemanasan global. Laurie Drinkwater, ahli manajemen tanah dan ekologi Rodale Institute di Kutztown, Pennsylvania, AS bersama koleganya membandingkan pertanian organik dengan metode sebelumnya yang menggunakan pupuk kimia selama 15 tahun. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature (Desember 1998) jika pupuk organik digunakan dalam kawasan pertanian kedelai utama di AS, setiap tahun, karbon dioksida di atmosfer dapat berkurang 1-2%.
Drinkwater mengatakan, pengurangan ini merupakan kontribusi yang sangat berarti. Selain itu negara-negara industri sepakat dalam pertemuan Bumi di Kyoto Jepang untuk mengurangi emisi karbondioksida sampai 5,2% dari tahun 1990 hingga tahun 2008-2012. Dalam penelitian ini juga ditemukan, pertanian organik menggunakan energi 50% lebih kecil dibandingkan dengan metode pertanian konvensional.
Demikianlah, fakta mengungkapkan bahwa sistem pertanian organik adalah pertanian yang ramah lingkungan. Artinya, pelaku sistem pertanian organik telah berusaha tidak merusak dan menganggu keberlanjutan komponen-komponen lingkungan yang terdiri atas tanah, air, udara, tanaman, binatang, mikroorganisme, dan tentunya manusia.
2.2 Penerapan Ekologi dalam Bidang Kehutanan
Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable atau funding resource). Oleh karena itu pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sustainable (sustainable – based principle) dari semua manfaat yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai ekosistem.
Berhubung di alam ini antara ekosistem yang satu berinteraksi dengan ekosistem yang lain, maka konteks pengelolaan hutan harus berdasarkan pada anggapan bahwa hutan merupakan salah satu bagian integral dari ekosistem yang lebih besar dimana hutan tersebut berada, yaitu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan bentang darat.
Dalam rangka mencapai azas kelestarian (sustainable), laju ekstraksi sumbedaya hutan tidak boleh melebihi laju daya pemulihan dari ekosistem hutan tersebut. Dalam konteks penebangan kayu, besar volume kayu yang ditebang tidak boleh melebihi riap volume tegakan hutan, sedangkan dalam konteks pemanfaatan secara umum, pemanfaatan hutan sebagai ekosistem tidak boleh melebihi daya dukung maksimum dari ekosistem tersebut.
Secara ideal, derajat pemanfaatan hutan harus diupayakan pada tingkat daya dukung optimalnya atau paling tinggi berada pada kisaran nilai antara daya dukung optimal dengan daya dukung maksimumnya. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan hutan tidak menimbulkan derajat gangguan lingkungan yang melebihi daya asimilatif dari ekosistem hutan tersebut.
Hutan dapat menghasilkan berbagai macam barang (kayu dan hasil hutan bukan kayu) dan jasa lingkungan (air, oksigen, keindahan alam, penyerap berbagai polutan, dan lain-lain), sehingga hutan bersifat multimanfaat. Sehubungan dengan ini pengelolaan hutan seyogyanya tidak boleh memaksimumkan perolehan dari satu macam manfaat saja (misal kayu) dengan mengorbankan manfaat-manfaat lainnya, karena berbagai macam manfaat hutan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Hutan dapat secara berkelanjutan memberikan manfaatnya bila proses ekologis internal dalam ekosistem hutan tersebut tidak terganggu atau terganggu tetapi tidak menimbulkan stress ekologis yang bersifat irreversible. Oleh karenanya, ekosistem hutan harus dibuat tahan terhadap gangguan dengan cara mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan yang tetap tinggi. Dengan demikian, pengelolaan hutan harus dilakukan secara tepat agar ragam dan derajat pemanfaatan hutan, yang tidak lain adalah berupa “tindakan gangguan” terhadap hutan, harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak melampaui daya recovery dari ekosistem hutan yang bersangkutan sebagai respons terhadap gangguan tersebut.
2.2.1 Persyaratan Ekologis Penerapan Multisistem Silvikultur
Berhubung Indonesia termasuk kedalam wilayah tropis, maka sedikitnya ada tiga prinsip persyaratan ekologis pengelolaan ekosistem hutan dengan multisistem silvikultur, yaitu:
1.Meminimasi gangguan terhadap tanah
Kondisi iklim daerah tropis yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis mikroorganisme tanah menyebabkan proses pelapukan serasah berjalan secara terus-menerus dengan laju yang cukup tinggi untuk menghasilkan bahan organik tanah yang selanjutnya berubah menjadi unsur hara bagi tumbuhan melalui proses mineralisasi. Kondisi tanah tersebut bersifat fragil terhadap gangguan pengurangan/penghilangan tutupan vegetasi, karena kalau tutupan vegetasi berkurang signifikan atau hilang sama sekali (misal karena deforestasi atau kebakaran) maka bahan organik tanah, terutama humus, akan cepat hilang terbawa surface run-off air hujan, sehingga secara perlahan-lahan tanah menjadi miskin hara. Oleh karena itu, dalam upaya pengolahan lahan, gangguan terhadap struktur tanah harus diusahakan seminimal mungkin untuk menghindari kehilangan unsur hara (nutrient) akibat surface run-off. Upaya pengolahan lahan dengan cara minimum tillage, manual clearing dan penggunaan herbisida dalam persiapan lahan menyebabkan sedikitnya kehilangan unsur hara dari tanah, sehingga menunjang upaya konservasi unsur hara pada tanah hutan yang bersangkutan (Jordan, 1985; Vitousek dan Matson, 1984; Lal, 1981 b).
2.Memelihara ketersediaan bahan organik tanah.
Semua upaya peningkatan produktivitas lahan pada prinsipnya merupakan upaya meningkatkan jumlah persediaan bahan organik tanah. Bahan Organik Tanah (BOT) merupakan natural slow-release fertilizer yang berperan sebagai reservoar penyimpan nutrient dan beragam komunitas mikroba aktif. Mikroorganisme tersebut sangat penting dalam mencegah kehilangan nutrient dan memasok nutrient terhadap tanaman, karena aktivitas mikroba menghasilkan nutrient secara perlahan (sedikit demi sedikit) tapi kontinyu dalam bentuk yang dapat diserap tanaman (soluble form). Dengan demikian metoda pengolahan lahan yang harus diterapkan adalah metoda yang membiarkan ekosistem di bawah tanah tidak terganggu atau metoda yang memungkinkan cepat pulihnya ekosistem di bawah tanah dari gangguan. Sehubungan dengan ini, Wade dan Sanched (1983) menyarankan penggunaan mulsa (mulching) dan pupuk hijau (green manure) sebagai pengganti penggunaan pupuk inorganik dalam budidaya pertanian intensif di daerah tropis sebagai upaya mengkonservasi nutrient.
3.Mempertahankan Keanekaragaman.
Suatu komunitas tumbuhan yang secara struktural mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi atau suatu komunitas yang bersifat polyculture akan memperlihatkan fenomena ”overyielding” bila dibandingkan dengan komunitas monoculture. Beberapa kelebihan polyculture tersebut adalah sebagai berikut:
a.Secara struktural komunitas tumbuhan dengan jenis beragam atau polyculture dapat memanfaatkan energi cahaya matahari lebih besar daripada komunitas monoculture karena kompleksnya susunan jarak dan tata daun dari masyarakat tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
b.Keanekaragaman jenis membatasi pertumbuhan secara eksponensial dari populasi serangga herbivora karena secara spasial tanaman inang terpisah satu sama lain dan habitat yang beragam mendukung populasi predator yang beragam dalam jumlah yang relatif lebih besar. Selain itu dalam suatu polyculture umumnya hadir jenis-jenis tumbuhan yang bersifat alelophatik yang mengeluarkan zat-zat allelokimia yang bersifat racun bagi beberapa jenis serangga herbivora dan gulma.
c.Keberadaan banyak jenis tumbuhan dalam suatu komunitas akan menjamin permukaan tanah tertutup vegetasi sepanjang waktu.
d.Suatu komunitas polyculture akan mempunyai produksi primer yang relatif besar karena adanya interaksi mutualistik diantara species yang ada.
e.Kehadiran beragam jenis pohon pada komunitas polyculture akan memperkaya unsur hara topsoil dengan unsur-unsur hara yang dibebaskan oleh pelapukan batuan induk dan bahan organik yang terpendam di tanah yang cukup dalam melalui penyerapan unsur hara tersebut oleh akar-akar tunjang yang menembus kedalam tanah tersebut. Proses pengayaan unsur hara dari top-soil tersebut terjadi melalui guguran serasah pohon yang bersangkutan ke permukaan tanah.
f.Beragam jenis tumbuhan pada komunitas polyculture akan mempunyai sistem perakaran yang kompleks yang berkembang baik di dalam tanah dengan kedalaman yang berbeda-beda. Sistem perakaran tersebut umumnya mengandung proporsi akar halus (yang berperan menyerap unsur hara) yang relatif besar dan akar tanaman dari berbagai kelas ukuran yang efektif untuk mencegah terjadinya longsor dan erosi. Selain itu, sistem perakaran tersebut memungkinkan penyerapan unsur hara dari seluruh horizon tanah yang ada.
4. Ukuran dan bentuk areal yang diganggu.
Di daerah tropika, pembersihan lahan atau pemanenan hutan dalam ukuran yang relatif kecil yang tersebar didalam suatu hamparan hutan atau hamparan kanopi vegetasi yang padat atau pemanenan hutan dalam bentuk strip (jalur) menyebabkan berkurangnya erosi dan kehilangan unsur hara, akibat surface run-off. Selain itu, vegetasi pada jalur yang tidak ditebang akan menangkap unsur hara yang tercuci, sehingga secara keseluruhan kehilangan unsur hara dari ekosistem tersebut menjadi relatif kecil (Jordan, 1985). Apabila pada daerah hulu sungai dilakukan penebangan hutan atau bentuk pemanfaatan lahan lainnya, maka pembangunan hutan sepanjang sungai atau saluran air yang ada merupakan suatu keharusan untuk upaya konservasi unsur hara. Adapun keharusan relatif kecilnya areal hutan yang diganggu (ditebang), baik oleh praktek penebangan maupun pemanfaatan lain, akan memberikan peluang pada komunitas tumbuhan untuk cepat pulih dari gangguan dan memungkinkan penyebaran benih (biji) dan propagul mikoriza oleh burung dan mamalia ke areal yang terganggu (Jonson, 1983).
2.2.2 Pembangunan Hutan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan
Pembangunan hutan dapat menjaga keseimbangan air jika pembangunan hutan dilaksanakan secara bijaksana dengan memperhatikan :
1.Jenis pohon yang ditanam disesuaikan antara tingkat transpirasi jenis tersebut dengan jumlah curah hujan areal penanaman. Misalnya jika jenis yang ditanam mempunyai evapotranpirasi sebesar 3000 mm/th, maka jenis tersebut hanya dapat ditanam pada daerah dengan curah hujan > 3000 mm/th, karena jika ditanam pada daerah dengan curah hujan < 3000 mm/th, maka daerah tersebut akan mengalami defisit air.
2.Penanaman hutan sebaiknya menciptakan strata tajuk, paling tidak ada dua strata, yaitu strata kanopi pohon dan strata tumbuhan penutup tanah. Dengan kombinasi bentuk daun yang runcing dan sempit serta dengan adanya strata tajuk tersebut dapat memperkecil massa dan kecepatan butir air hujan yang jatuh ke lantai hutan. Jika lantai hutan penuh dengan tumbuhan penutup tanah, serasah dan humus, maka pembangunan hutan tersebut dapat mengurangi aliran permukaan (air larian) dan dapat meningkatkan infiltrasi air (suplesi air). Dengan berkurangnya air larian dan meningkatnya suplesi air maka pembangunan hutan dapat mengurangi bahaya banjirdan erosi serta meningkatkan airsimpanan (air tanah).
Pada lahan kritis atau tanah kosong (tidak bervegetasi) air menguap dari permukaan tanah dan diganti oleh air dari bawahnya, laju penguapan lebih tinggi daripada laju naiknya air, sehingga tanah cepat kering dan laju penguapan menurun. Tanah kosong yang ditutupi serasah, laju penguapannya lebih kecil karena serasah menghalangi penguapan air. Namun pada tanah berhutan, lengas tanah diserap oleh perakaran dibawa ke daun, karena permukaan daun yang luas dan perakaran yang ekstensif sehingga laju penyerapan dan penguapan air lebih besar dibandingkan dengan tanah kosong dan tanah kosong yang ditutupi serasah.
Hutan juga menahan air hujan yang jatuh, air hujan yang jatuh tertahan oleh tajuk (intersepsi), air intersepsi menguap kembali ke udara. Pada hujan yang tidak lebat seluruh air hujan dapat diintersepsi., makin besar tajuk dan biomassa makin banyak air hujan yang diintersepsi. Banyaknya hujan yang dintersepsi bervariasi 10-40 % (Soemarwoto, 1991). Setelah tajuk hutan jenuh air, baru air hujan jatuh atau menetes dari tajuk sebagai air lolosan.
Sebagian hujan mengalir melalui batang (aliran batang) dan selanjutnya mengalir ke tanah. Aliran batang dan air lolosan akhirnya sampai lantai hutan sebagai curahan atau presipitasi. Air di lantai hutan diserap serasah dan humus (intersepsi serasah). Setelah serasah jenuh dengan air, sebagian air akan mengalir di atas permukaan tanah sebagai air larian. Sebagian air meresap ke tanah mengisi lengas tanah menjadi air simpanan, pengisian air simpanan disebut suplesi. Suplesi diperbesar/dipermudah kalau ada serasah (ada intersepsi oleh serasah) karena tanah menjadi gembur akibat aktivitas makhluk hidup tanah. Makin besar suplesi, maka makin kecil, baik air larian maupun aliran air sungai. Pembuangan serasah dapat meningkatkan air larian sebesar 4 % (Soemarwoto, 1991).
Air simpanan adalah sumber untuk aliran air dalam jangka panjang, sebagian keluar melalui mata air dan menambah aliran air. Hutan dapat pula mengurangi air simpanan melalui evapotranspirasi, sehingga hutan mempunyai dua pengaruh yang berlawanan terhadap besarnya aliran dasar. Hutan dapat meningkatkan suplesi air, tetapi hutan juga mengurangi air simpanan karena evapotranspirasi, hal ini sangat terasa pada musim kemarau
Di AS, konversi hutan campuran berdaun lebar menjadi hutan Pinus telah menyebabkan penurunan aliran air, yaitu pada umur 23 tahun Hutan tersebut menurunkan aliran air 20 – 25 cm atau 20 % aliran air sebelum konversi (Soemarwoto, 1991). Umumnya pembangunan hutan menambah aliran air pada waktu hutan masih muda, setelah dewasa pengaruh tersebut menurun. Konversi hutan untuk pemukiman dan industri serta jalan mengakibatkan peresapan (suplesi) air menurun, sehingga air larian dan aliran air meningkat, sehingga volume air simpanan menurun, kapasitas mata air menurun dan aliran dasar akan menurun (bahkan mengering) akibatnya sungai dari parennial (mengalir tahunan) menjadi sungai periodik (musiman). Sumur pun tidak dapat diandalkan terutama musim kemarau
Pada reboisasi dan penghijauan lahan kritis menjadi hutan yang berhasil, maka laju evapotranspirasi dan suplesi air simpanan akan meningkat. Reboisasi dan penghijauan yang berhasil akan menaikkan peresapan air, sehingga air simpanan naik untuk memasok mata air dan sumur, walaupun sebenarnya aliran air total berkurang karena naiknya laju intersepsi dan evapotranspirasi. Jika pembangunan hutan menggunakan dengan jenis yang mempunyai evapotranspirasi yang tidak cocok tidak akan meningkatkan air simpanan karena air simpanan habis terpakai oleh evapotranspirasi. Transpirasi selain tergantung pada jenis tumbuhan juga tergantung pada tingkat kesuburan tanah, semakin subur tanah semakin tinggi laju transpirasi.
2.3 Penerapan Ekologi dalam Bidang Tata kota
Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial ekonomi yang menyertainya. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi di kawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam hal ketersediaan fasilitas dan kemudahan aksesibilitas sehingga mampu menarik berbagai kegiatan untuk beraglomerasi.
Perkembangan kota diikuti dengan perubahan land use di perkotaan. Dari area hijau yang alami menjadi area terbangun. Perubahan land use berimplikasi pada kondisi ekologis (biodiversiti dan sumber daya alami). Perkembangan kota juga didorong faktor ekonomi yang menuntut pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang dimiliki. Out put yang dihasilkan dari aktifitas masyarakat kota berupa limbah (gas, cair dan padat) dapat mencemari lingkungan.
Berkaitan dengan karakteristik lahan yang terbatas, dinamika perkembangan kegiatan di kawasan perkotaan ini menimbulkan persaingan antar penggunaan lahan yang mengarah pada terjadinya perubahan penggunaan lahan dengan intensitas yang semakin tinggi. Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kota ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl)
Pergeseran fungsi yang terjadi di kawasan pinggiran adalah lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai kawasan hutan, daerah resapan air dan pertanian, berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan kegiatan usaha non pertanian lainnya. Adanya fenomena semakin berkurangnya lahan terbuka hijau karena perluasaan lahan terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami urbanisasi memberikan konsekwensi logis bahwa semakin besar perubahan penggunaan lahan hutan, pertanian dan daerah resapan air menjadi penggunaan perkotaan (non-pertanian) memberikan dampak terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan jumlah dan mutu lingkungan diantaranya penurunan mutu dari keberadaan sumberdaya alam seperti, tanah, tata air dan keanekaragaman hayati, menurunnya produksi pertanian dan lain-lain.
Lanskap merupakan totalitas karakter baik abiotik maupun biotik serta proses yang berlangsung diantaranya. Lanskap terbentuk dari proses secara fisik dan biologi dari waktu ke waktu. Lanskap prosesnya tidak statis namun dinamis, setiap waktu lanskap mengalami perubahan. Untuk dapat mengelola lanskap dengan baik, kita mengenal tiga faktor penting didalam manajemen lanskap yaitu struktur, fungsi dan perubahan.
Struktur merupakan hubungan spasial antara ekosistem-ekosistem yang berbeda atau kehadiran elemen-elemen lebih khusus, distribusi energi, material, dan spesies dalam hubungannya terhadap ukuran, bentuk, jumlah, jenis dan konfigurasi ekosistem. Fungsi adalah interaksi antara elemen spasial berupa aliran energi, material dan spesies dalam komponen ekosistem. Sedangkan perubahan adalah perubahan struktur dan fungsi mosaik ekologis.
Perubahan land use dan perkembangan kota dapat diamati secara spasial dan temporal. Pengamatan ini untuk mempelajari hubungan antara aktifitas manusia dan perubahan land use dengan pola ekologis. Dengan mengetahui pola ini diharapkan dapat menjaga biodiversiti dan suberdaya alam serta menciptakan kota yang sustainable.
Perkembangan kota dinilai dari dua aspek yaitu ekologi dan sosial ekonomi. Pada aspek ekologi yang menjadi dasar pengamatan adalah produksi primer, karakter populasi dan komunitas alami, penyimpanan dan dinamik bahan organik, perpindahan material, dan pola gangguan oleh pembangunan seperti kebakaran dan banjir.
1.Produksi primer oleh tanaman
Tanaman yang hidup pada terestrial maupun aquatik menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis dan khemosintetis. Bahan organik ini merupakan sumber energi bagi mahkluk lainnya. Proses fotosintesis membutuhkan air dan CO2 sebagai bahan baku dan melepaskan O2 ke udara. Aktifitas ini mempengaruhi iklim mikro khususnya pada penurunan temperatur. Simbiosis tanaman dengan organisme lain (mikoriza dan bintil akar) dapat menyerap nitrogen bebas sehingga meningkatkan kesuburan tanah. Pola-polaseperti ini sangat rentan terhadap aktifitas manusia sehingga kawasan-kawasan yang memeiliki biodiversiti tinggi harus dipertahankan dan diisolasi.
2.Karakter populasi dan komunitas alami
Organisme, populasi dan komunitas sangat tergantung pada patch yang didiami baik dari ukuran dan qualitas patch. Aktifitas dan frekuensi manusia juga terjadi pada patch yang sama sehingga terjadi perubhan-perubahan pada struktuk tropik populasi tersebut. Struktur tropik dimulai dari produsen (tanaman), herbivora, karnivora dan pengurai. Di dalam struktur tropik terjadi aliran energi. Satu tingkatan dalam struktur tropik rusak berimplikasi pada struktur tropik lainnya.
3.Penyimpanan dan dinamik bahan organik
Bahan organik terbentuk karena dekomposisi tanaman atau pohon-pohon yang mati. Bahan organik merupakan lapisan horizon tanah yang menjadi sumber nutrien bagi tanaman (produsen). Dekomposisi bahan organik juga banyak melibatkan jasad-jasad renik sebagai aktor dalam proses tersebut. Keberadaan bahan organik ini harus dikontrol dan dijaga agar tidak rusak, salah satunya dengan kebijakan pengaturan air (efek pencucian dan irigasi).
4.Frekuensi dan pola gangguan
Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi tata air (hidrologis) adalah terjadinya perubahan perilaku dan fungsi air permukaan. Dalam keadaan ini terjadi pengurangan aliran dasar (base flow) dan pengisian air tanah, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan tata air. Hilangnya daerah resapan akibat pembangunan dapat menyebabkan bencana banjir dan kekeringan.
Kebakaran padang rumput kering dapat mencetus perubahan ekologis di area atau sekitar area tersebut, karena jejaring ekologi merupakan rangkaian yang saling mengait dan merupakan suatu sistem kesetimbangan. Pada saat kebakaraan maka ekosistem padang rumput tersebut akan berubah, jasad-jasad renik yang ada didalam tanah pun akan mati.
Aspek sosial ekonomi dilakukan untuk mengamati keterkaitan keputusan penggunaan lahan dan karakter ekologi. Dampak ekologi apa yang muncul terhadap keputusan merubah penggunaan lahan pada feature ekologi. Hal ini perlu diamati untuk mengetahui arah kebijakan dimasa yang akan datang.
Pembangunan berwawasan lingkungan pada dasarnya bertumpu pada kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan dan kependudukan sehingga perlu mendapat perhatian secara terintegrasi keseluruh komponen masyarakat, sehingga segala kegiatan tidak hanya mencari keuntungan ekonomi semata, akan tetapi lingkungan pun harus terlindungi, dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan sesuai daya tampung dan daya dukung (Carring Capasity) untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a.Ekologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan keadaan lingkungannya yang bersifat dinamis.
b.Sistem pertanian organik adalah pertanian yang ramah lingkungan. Artinya, pelaku sistem pertanian organik telah berusaha tidak merusak dan menganggu keberlanjutan komponen-komponen lingkungan yang terdiri atas tanah, air, udara, tanaman, binatang, mikroorganisme, dan tentunya manusia.
c.Dengan demikian, pengelolaan hutan harus dilakukan secara tepat agar ragam dan derajat pemanfaatan hutan, yang tidak lain adalah berupa “tindakan gangguan” terhadap hutan.
d.Pembangunan berwawasan lingkungan pada dasarnya bertumpu pada kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan dan kependudukan.
3.2 Saran
Dengan membaca makalah ini di harapkan dapat menambah wawasan para pembaca tentang Penerapan ekologi dalam bidang pertanian, lingkungsn dan tata kota serta di harapkan para pembaca mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Heinz Frick, Bambang Suskiyanto.2006. Dasar-Dasar Ekologi Arsitektur.Yogyakarta:Kanisius.
Heinz Frick Fx,Bambang Suskiyatno.2006, Ekologi Arsitektur .Yogyakarta:Kanisius.
Jumin, Hasan Basri.1992. Ekologi Tanaman.Rajawali Press:Jakarta
Anonymous. 2010. Sejarah ruang lingkup ekologi dan ekosisitem. http://massofa.wordpress.com/2008/09/23/sejarah-dan-ruang-lingkup-ekologi-dan-ekosistem/ diakses 11 Desember 2010
Anonymous. 2010. Sejarah ruang lingkup ekologi dan ekosisitem. http://www.2lisan.com/readmore/Sejarah+dan+Ruang+Lingkup+Ekologi+dan+Ekosistem+"%3B+CARI+ILMU di akses 11 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar